Minggu, 17 Januari 2016

How I falling in love with Yoga?

 “Yoga is like music: the rhythm of the body, the melody of the mind, and the harmony of the soul create the symphony of life.” 

Saya mengenal yoga kurang lebih dari SMP, banyak baca buku tentang yoga dan gerakannya. Hal yang menyenangkan saat masih SMP bersama kakak dan papa kita sama-sama mencoba untuk yoga bersama. Yoga yang saya kenal dahulu hanya yoga yang tergambar di buku kecil seharga 15 ribu. Sampai akhirnya memasuki SMA saya lebih banyak mencari terkait yoga mulai dari internet atau dengan mengunduh aplikasi di smartphone. Beberapa orang mulai mengajak saya untuk yoga di tempat-tempat seperti gym dan lain-lain tapi saya tidak pernah tertarik.

Hingga beberapa tahun kemudian kakak saya sempat bekerja di Bali dan memberitahu bahwa setiap minggu ia selalu pergi ke Ubud untuk yoga. Saat itulah pertama kali saya datang ke tempat yoga di Ubud dan langsung merasa jatuh cinta (Radiantly Alive, Ubud). Yoga bisa saya ibaratkan seperti tarian dimana terdapat unsur rasa dan emosi. Selain tempat yang sangat mendukung, disana saya mencoba untuh push my limit, yoga menantang saya untung mempertahankan suatu gerakan yang saat itu saya rasa menyakitkan. Nafas menjadi kunci utama, setiap gerakan tidak akan pernah berdiri dengan kuat saat ada unsur keraguan yang menyebabkan produksi nafas jadi tidak beraturan. 

Sesampainya di Jakarta saat libur akhir semester saya mencoba untuk bergabung dengan Iyengar. Yoga memang memiliki beberapa aliran, seperti vinyasa, iyengar, yin yang, astanga, dll. Saya rasa dari semua aliran tersebut, yang paling sesuai bagi saya adalah Iyengar. Iyengar yoga menekankan pada alignment dimana setiap gerakan memiliki akar dan maksud yang ingin dicapai. Misalkan dalam melakukan "Tadasana", yang tidak lain adalah berdiri. Saya sendiri menyadari bahwa seringkali kita melakukan standing pose atau pose berdiri yang salah. Yoga mengajarkan untuk memperbaiki bentuk tubuh dan kerja otot. Pose tadasana menekankan pada tumit yang kuat mendorong kaki yang kuat pula, kemudian dada yang membusung dengan tulang rusuk yang ditekan ke dalam, kemudian bagian tulang belakang yang lurus. Menurut penuturan salah satu guru, saat gerakan ini dilakukan dalam keseharian kita, maka struktur tubuh dapat membaik lama kelamaan.

Berlatih yoga tak sepenuhnya bahagia, bahkan saya sempat tidak diperbolehkan menggerakkan lutut selama kurang lebih 3 minggu karena mengalami dislokasi. Beberapa dokter menyarankan untuk saya berhenti dan tidak lagi melanjutkan latihan. Saya memang bukan seseorang yang berlatih yoga setiap hari, namun kata berhenti tidak pernah ada di kamus saya terlebih saat berurusan dengan yoga. Saya akhirnya mencari-cari aliran apa yang sesuai, dan saya kembali untuk kedua kalinya jatuh cinta dengan Iyengar Yoga. Saya tidak tahu sampai kapan saya akan bertahan, namun saya yakin saat kita mencintai sesuatu maka kita tak pernah terluka karenanya, termasuk dalam Yoga.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar